Masa remaja
dikenal dengan masa storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi
yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis
yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat
beberapa fase (Monks, 1985), fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15
tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja
akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase
pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi
masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Fase pubertas ini berkisar dari
usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun (Hurlock, 1992) dan setiap
individu memiliki variasi tersendiri. Masa pubertas sendiri berada tumpang
tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga kesulitan pada masa
tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi
fase-fase perkembangan selanjutnya. Pada fase itu remaja mengalami perubahan
dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik
pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.
Pergolakan emosi yang terjadi pada
remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat
tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas
yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan
lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat
menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di
sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di
sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja
seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya
tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri
remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.
Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling
banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka
menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang
lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan
emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana
remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu
mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan
lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi
sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang
lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.
Apa Sih Kecerdasan Emosional
Goleman (1997), mengatakan bahwa
koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila
seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau
dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik
dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta
lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan
dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta
mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat
menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur
suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998)
mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan
secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan
pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk
belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam
kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999)
mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat
seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang
tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan
emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri
sendiri dan orang lain.
Dari beberapa
pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri
untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan
untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan
emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan
sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah
tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional
Kecerdasan
emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal
dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu
diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk
mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di
lingkungan masyarakat.
Goleman (1995)
mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman
bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
Mengenali emosi
diri
Kesadaran diri
dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar
kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari
waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.
Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada
dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya
yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
Mengelola emosi
Mengelola emosi
berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini
merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan
berhasil dikelola apabila : mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan,
dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali
dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam
mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau
melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
Memotivasi diri
Kemampuan
seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : a)
cara mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh
terhadap unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan
e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian
seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya
hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang
dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam
menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.
Mengenali emosi
orang lain
Empati atau
mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika
seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan
terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu
menghormati perasaan orang lain.
Membina
hubungan dengan orang lain
Seni dalam
membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung
keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan
seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya
karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang
menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak
berperasaan.
Dengan memahami komponen-komponen
emosional tersebut diatas, diharapkan para remaja dapat menyalurkan emosinya
secara proporsional dan efektif. Dengan demikian energi yang dimiliki akan
tersalurkan secara baik sehingga mengurangi hal-hal negatif yang dapat
merugikan masa depan remaja dan bangsa ini. Semoga. (ek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar