Kata
“remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak
tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice,
1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja
(adolescent) secara eksplisit
melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).
Menurut Papalia dan Olds (2001),
masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada
usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut Adams & Gullota
(dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun.
Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13
hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18
tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa
remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati
masa dewasa.
Papalia & Olds (2001)
berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa.
Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja
terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan
dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan
dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan
proses pembentukan orientasi masa depan.
Transisi perkembangan pada masa
remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun
sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa
kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan
masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses
kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif
yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia
& Olds, 2001).
Yang dimaksud dengan perkembangan
adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds,
2001). Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan
tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir
secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001). Perkembangan dalam
kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek
perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu: (1) perkembangan
fisik, (2) perkembangan kognitif, dan (3) perkembangan kepribadian dan sosial.
Aspek-aspek perkembangan
pada masa remaja
Perkembangan fisik
Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh,
otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001).
Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh,
pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi
reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya
adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan.
Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan
kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).
Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk
memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan
Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi
yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif
mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih
penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut.
Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati,
tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu
ide baru.
Perkembangan kognitif adalah
perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan
bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa
remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang
telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi
memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan
kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001).
Tahap formal operations adalah
suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang
remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang
benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir
dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif
jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang
baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan
untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja
sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu
bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan
pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian,
seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk
adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.
Pada tahap ini, remaja juga sudah
mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai
membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang
terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk
berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai
peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu
tujuan di masa depan (Santrock, 2001).
Salah satu bagian perkembangan
kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah
kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds,
2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat
suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam
Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah
satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal
fabel.
Personal fabel adalah “suatu
cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri,
tetapi [cerita] itu tidaklah benar” . Kata fabel berarti cerita rekaan yang
tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel
biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki
karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari
sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds (2001) dengan
mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut :
“Personal fable adalah keyakinan
remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief
egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja
yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya
seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena
perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia
tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai mobil], atau
remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami
kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada
orang lain, bukan pada dirinya”.
Pendapat Elkind bahwa remaja
memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan bahwa diri mereka
tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, merupakan kutipan yang
populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko yang dilakukan remaja
(Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang
memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan
perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.
Beyth-Marom, dkk (1993) kemudian
membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun orang dewasa memiliki kemungkinan
yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang berisiko merusak
diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya derajat yang sama
antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi self-invulnerability. Dengan
demikian, kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan kecenderungan mempersepsi
diri invulnerable menurut Beyth-Marom, dkk., pada remaja dan orang dewasa
adalah sama.
Perkembangan kepribadian dan
sosial
Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu
berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan
perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain
(Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa
remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian
identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang
penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).
Perkembangan sosial pada masa
remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger,
1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih
banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra
kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001).
Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.
Pada diri remaja, pengaruh
lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah
mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya
sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh
tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Kelompok teman sebaya diakui
dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang
perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993;
Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001)
mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi
remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi
remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara
berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya
(Conger, 1991).
Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan
yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa
remaja.
- Peningkatan emosional yang terjadi secara
cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm &
stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik
terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial,
peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi
baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan
tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak
lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan
bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk
seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang
duduk di awal-awal masa kuliah.
- Perubahan yang cepat secara fisik yang juga
disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa
tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang
terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi,
pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi
badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep
diri remaja.
- Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya
dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang
menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal
menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya
tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan
untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih
penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja
tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama,
tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
- Perubahan nilai, dimana apa yang mereka
anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah
mendekati dewasa.
- Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam
menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan
kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang
menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri
untuk memikul tanggung jawab tersebut.
Tugas perkembangan remaja
Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :
- memperluas hubungan antara pribadi dan
berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki
maupun perempuan
- memperoleh peranan sosial
- menerima kebutuhannya dan menggunakannya
dengan efektif
- memperoleh kebebasan emosional dari orangtua
dan orang dewasa lainnya
- mencapai kepastian akan kebebasan dan
kemampuan berdiri sendiri
- memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan
- mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga
- membentuk sistem nilai, moralitas dan
falsafah hidup
Erikson (1968, dalam Papalia,
Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi
identity versus identity confusion, yang merupakan krisis
ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas
perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja
dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan
peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Untuk menyelesaikan krisis ini
remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam
masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya
menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan
peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.
Sumber Pustaka
Aaro, L.E. (1997). Adolescent
lifestyle. Dalam A. Baum, S.
Newman J. Weinman, R. West and C. McManus (Eds). Cambridge Handbook of
Psychology, Health and Medicine (65-67). Cambridge University Press,
Cambridge.
Beyth-Marom, R., Austin, L.,
Fischhoff, B., Palmgren, C., & Jacobs-Quadrel, M. (1993). Perceived consequences
of risky behaviors: Adults and adolescents. Journal of Developmental
Psychology, 29(3), 549-563
Conger, J.J. (1991). Adolescence
and youth (4th ed). New York: Harper Collins
Deaux, K.,F.C,and Wrightman,L.S.
(1993). Social psychology in the ‘90s (6th ed.). California : Brooks /
Cole Publishing Company.
Gunarsa, S.D. (1988). Psikologi
remaja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Gunarsa, S.D. (1990). Dasar
dan teori perkembangan anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hurlock, E. B. (1990). Developmental psychology: a lifespan
approach. Boston:
McGraw-Hill.
Hurlock, E. B. (1973). Adolescent
development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha.
Monks, F.J., Knoers, A. M. P.,
Haditono, S. R. (1991) Psikologi perkembangan : Pengantar dalam berbagai
bagiannya (cetakan ke-7). Yogya: Gajah Mada University Press.
Papalia, D E., Olds, S. W., &
Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8th ed.). Boston:
McGraw-Hill
Rice, F.P. (1990). The
adolescent development, relationship & culture (6th ed.). Boston: Ally
& Bacon
Santrock, J.W. (2001). Adolescence
(8th ed.). North America: McGraw-Hill.
sumber :
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/remaja.html
Entry Filed under: psikologi.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar